Selasa, 13 April 2010

MENEMBUS BATAS KEADILAN LEGAL FORMAL

Yang menyebabkan Pulau Jawa sekarang ini
belum tenggelam ke dasar lautan atau berubah menjadi padang pasir tandus,
bukanlah tegaknya hutan dan berhasilnya pengelolaan kawasan hutan modern.
Akat tetapi semata-mata keberhasilan rakyat Jawa sendiri, khususnya para petani,
dalam melaksanakan kegiatan ramah alam dengan berbagai teknologi tradisional mereka.
(Profesor Sudarwono Hardjosudiro, Cepu ,1980-an)

PENGANTAR
Kerusakan hutan (negara) di Indonesia, khusunya Jawa, bukanlah wacana baru bagi publik. Minimnya akses masyarakat desa hutan untuk meningkatkan kesejahteraan dari kegiatan mengelola hutan negara, cukup lama akrab ditelinga. Kuatnya dominasi pemerintah pusat atas Jawa, diterapkan melalui berbagai kebijakan dan institusinya yang sentralistik. Tertutupnya ruang gerak masyarakat lokal dalam kurun waktu yang sangat lama, adalah sebuah keniscayaan.
Bagaimanapun, cerita tentang kehutanan Jawa sejak lama didominasi oleh kekacauan manajemen serta maraknya konflik dan sengketa. tak terhitung kerugian material akibat fenomena tersebut, sebab potensi hutan yang semakin menurun telah menyebabkan tumbuhnya berbagai gejolak sosial serta gangguan ekologis yang menahun.
Fakta yang sama terjadi di Wonosobo, sebuah kabupaten yang terletak di Jawa Tengah bagian selatan. Persoalan kehutanan juga menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari warga masyarakat dan pemerintahan daerah kabupaten ini. Penanganan masalah kehutanan akhirnya menjadi prioritas, mengingat karakter topografi wilayah Wonosobo yang sebagian besar berupa perbukitan dan pegunungan. Rusaknya hutan secara langsung akan menimbulkan gangguan yang nyata bagi perikehidupan warga masyarakat daerah ini.
Disisi lain, masyarakat Wonosobo (khususnya bagian selatan dan timur) telah lama mampu merapkan pola-pola kehutanan masyarakat (community forestry) dilahan milik. Meskipun kepemilikan lahan tidak begitu luas, penduduk Wonosobo sukses mengembangkan sistem wono (kebun campur yang didominasi oleh tanaman berkayu). Pada saat ini , wono didaerah ini luasnya mencapai hampir 20.000 hektare, yang berarti lebih dari 15% dari luas hutan rakyat diseluruh Jawa Tengah. Selain bernilai ekonomis , keberadaan wono sangat penting sebagai sistem pendukung pertanian desa, penyangga ekosistem, penjaga stabilitas ekologi dan pengatur tata air .
Dari berbagai riset, terbukti bahwa kearifan rakyat Wonosobo tersebut telah menjadi benteng terakhir dari terjadinya resiko-resiko ekologi. Wono juga terbukti mampu berperan sebagai andalan kehidupan ekonomi setempat dan memperkuat jaminan sosial warga desa sekitar hutan. Posisi dan manfaatwono kian strategis mengingat daerah Wonosobo yang sebagian besar terletak didataran tinggi dan pegunungan . Apa yang menjadi sinyalemen Profesor Sudarwono pada kutipan dimuka, nyata terlihat disesa-desa di wilayah Wonosobo

ANTARA DISKUSI DAN SUBSTANSI
Dua sisi persoalan tersebut menjadi asupan utama dalam diskusi para pihak di Wonosobo. Dengan keprihatinan yang dalam terhadap kerusakan hutan yang terjadi—yang tidak juga mampu dicarikan jalan keluarnya—para pihak di Wonosobo berkeinginan untuk memunculkan sebuah terobosan baru untuk memperbaiki sistem kelola hutan di daerah ini. Proses panjang dalam tahap tersebut telah ditempuh, yang memakan waktu sekitar 2 tahun. Salah satu output-nya adalah diberlakukannya Perda Kabupaten Wonosobo No. 22 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDHBM). Di dalamnya, kelompok-kelompok masyarakat desa hutan akan memiliki pilihan-pilihan yang lebih luas dalam pengelolaan hutan secara berkelanjutan, dengan pengaturan oleh pemerintahan daerah.
Dalam perkembangannya, banyak kalangan menaruh perhatian lebih besar kepada dinamika sekitar penetapan dan pemberlakuan Perda tersebut. Sebagian menilai, bahwa Perda PSDHBM telah berhasil menumbuhkan sebuah semangat baru dalam mencari jalan keluar bagi carut marut sistem kehutanan di wilayah Wonosobo khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Sebagian lain lebih memberi tekanan tentang perlunya para pihak di Wonosobo untuk lebih bijaksana dan taat kepada mekanisme legal formal yang berjalan saat ini, khususnya dalam sistem pengelolaan hutan yang berlaku di Indonesia.
Di sela dukungannya, para penggiat ornop lebih menyoroti berbagai peluang dan kendala penerapan Perda PSDHBM. Meskipun Perda tersebut diakui sebagai alternatif terbaik dalam memberikan akses yang luas bagi masyarakat dalam pengelolaan hutan saat ini, disarankan untuk segera dilakukan langkah pengalihan kewenangan dari Perhutani kepada pemerintah daerah. Disoroti pula bahwa Perda ini masih belum aplikatif, tata cara perijinan yang membuka peluang KKN, belum jelasnya mekanisme bagi hasil, dan sebagainya. Persoalan posisi Perda versus peraturan-peraturan di atasnya juga mengemuka—sebuah kekhawatiran yang juga melanda para aparat pelaksana di tingkat kabupaten Wonosobo sendiri.
Menyertai ramainya diskusi dan perdebatan yang membarengi pemberlakuan Perda PSDHBM, patut direnungkan tentang ragam latar belakang sosiologis di balik proses penetapannya. Diyakini bahwa terdapat tarik ulur dan benturan kepentingan yang kuat sepanjang proses dialog di daerah, jauh sebelum Perda ini ditetapkan. Demikian pula ke depan, benturan yang sama akan terjadi tatkala pusat merasa berkeberatan dengan skema pengelolaan hutan sebagaimana diatur dalam Perda PSDHBM.
Tulisan ini mencoba mengulas secara ringkas beberapa persoalan dan solusi yang terkait dengan latar belakang penetapan Perda PSDHBM tersebut. Pada bagian akhir, akan coba dipaparkan sebuah sintesa singkat mengenai masa depan pemberlakuan Perda ini, di tengah atmosfir sentralisasi yang kini kembali menguat.
WONOSOBO, OTONOMI DAERAH, DAN PENGELOLAAN HUTAN
Era reformasi di Wonosobo—sebagaimana tempat-tempat lain di Indonesia—dihiasi dengan fakta rusaknya hutan dengan kecepatan yag tidak pernah diperhitungkan sebelumnya. Degradasi hutan telah melewati ambang keprihatinan, bahkan ketika hutan di Wonosobo merupakan hulu bagi dua DAS penting, yakni DAS Serayu dan DAS Opak Progo. Perhutani—yang dipercaya negara selama puluhan tahun—telah gagal menahan laju deforestasi ini. Tatkala kondisi ini dipercepat oleh penjarahan hutan yang tidak juga terhentikan, Perhutani pun seperti tutup mata dengan tetap pula melakukan penebangan dan aktivitas rutin lainnya.
Pemberlakukan UU No. 22 dan UU No. 25 Tahun 1999 telah membuka ruang baru dalam kehidupan politik dan demokrasi di tanah air. Dalam hal desentralisasi pengelolaan hutan, Pemda Wonosobo menyambutnya dengan keterbukaan yang besar bagi adanya diskusi bersama kalangan akademisi, NGO, masyarakat desa hutan, dan pelaku bisnis kehutanan. Serangkaian diskusi tersebut kian memperkuat keinginan para pihak untuk mencari jalan keluar dari krisis kehutanan di wilayah ini.
Berangkat dari realitas keberhasilan wono, keinginan yang mengkristal pada akhirnya didominasi oleh wacana tentang pengelolaan hutan negara berbasis masyarakat (PSDHBM). Wacana tersebut ternyata memperoleh dukungan luas dari DPRD, Pemda, masyarakat, dan NGO setempat. Semua pihak menyatakan dukungan kepada PSDHBM ketika Dialog Antar Pihak beberapa kali digelar. Hanya Perhutani yang terlihat belum sepakat dan beberapa kali bahkan meninggalkan pertemuan.
Bersamaan dengan pemberlakuan kesepakatan tentang Jeda Lingkungan di Wonosobo, keluarlah SK Bupati No. 522/200/2001 tentang peran dan fungsi FKP3H (Forum Koordinasi Penanganan Penjarahan dan Penataan Hutan). Anggota forum tersebut berasal dari berbagai unsur seperti pemerintah daerah (Dishutbun, Bappeda, Kantor Sospol, Bagian LH, Bagian Hukum, Bagian Ketertiban, Bagian Perekonomian, Bagian Humas, dan BPN), DPRD (Komisi A dan Komisi B), Perhutani (KPH Kedu Utara dan KPH Kedu Selatan), kalangan pers, masyarakat desa hutan (tokoh masyarakat dari Desa Bogoran, Jangkrikan, dan Tlogo), NGO, pengadilan negeri, dan kejaksanaan negeri setempat.
Melalui forum inilah, berulang kali terjadi konsultasi dengan masyarakat mengenai konsep dan metodologi PSDHBM, sekaligus sosialisasi masa Jeda Lingkungan. Lebih dari 30 desa hutan aktif terlibat dalam proses konsultasi ini. Masyarakat desa hutan—terutama petani hutan—amat sepaham dengan penerapan PSDHBM. Terhadap penetapan masa Jeda Lingkungan, konsultasi publik menghasilkan kesepakatan agar petani penggarap hutan negara diperbolehkan menyelesaikan sekali masa tanam.
Enam bulan masa Jeda Lingkungan berlangsung tidak efektif. Perhutani yang merasa tidak terikat dengan kesepakatan masih tetap melakukan penebangan rutinnya seperti termaktub dalam RTT (Rencana Teknik Tahunan). Illegal logging masih juga marak tak terhentikan. Menyaksikan pelanggaran kesepakatan jeda lingkungan tersebut, para petani hutan—selain juga disebabkan desakan kebutuhan—enggan berhenti menggarap lahannya ketika panen telah usai. Lahan hutan yang dibuka sebagai tempat bercocok tanam semakin luas.
Para pihak kemudian memutuskan untuk mempercepat pemberlakuan skema PSDHBM, melalui insiatif DPRD Wonosobo. Dukungan kemudian datang silih berganti. Berkali-kali gedung DPRD dibanjiri warga masyarakat yang ingin menyampaikan dukungan bagi Perda PSDHBM, baik dengan cara berdialog maupun aksi demonstrasi. Ada pula yang hanya sekedar melayangkan surat pernyataan sebagai tanda dukungan. Dan ketika proses terasa berlarut, dukungan pun sekonyong berubah menjadi desakan yang datang kian bertubi.
Beberapa kali kelompok-kelompok masyarakat dari desa–desa di berbagai kecamatan, seperti Desa Gunung Tugel (Kecamatan Leksono), Bogoran (Kecamatan Sapuran), Tlogojati (Kecamatan Wonosobo), Jangkrikan (Kecamatan Kepil), Kreo, Tlogo, Tieng, Tambi (Kecamatan Kejajar), Ngadisono (Kecamatan Kaliwiro), Ngaliyan (Kecamatan Wadaslintang) dan berbagai desa sekitar hutan lainnya kembali berunjuk rasa. Desakan dari kalangan NGO-pun semakin bertambah dengan masuknya Jaringan Mitra Dieng (Jamidi), Serikat Petani Kedu dan Banyumas (Sepkuba) dan Jaringan Kerja Pesantren Masyarakat (JKPM) dalam proses PSDHBM.
Pada tanggal 20 Oktober 2001, Perda PSDHBM akhirnya disahkan. Tidak ada pesta pora dan arak-arakan pawai turun ke jalan, namun masyarakat—terutama petani hutan—merasa sangat lega. Masyarakat Desa Bogoran, tidak lagi khawatir tanaman sengonnya akan dibabat Perhutani. Petani penggarap hutan negara di Desa Gunung Tugel tak perlu lagi menyetor 30% dari hasil kopi tanamannya kepada aparat Perhutani--sebuah upeti tak resmi yang selama ini diberlakukan. Petani hutan lainnya juga tidak harus buru-buru meninggalkan lahannya, karena diusir petugas dengan alasan bahwa lahannya akan segera ditanami tanaman kehutanan.
Perda PSDHBM, Kaya PARTISIPASI Miskin Apresiasi
Hakekat peraturan daerah sebagai sebuah peraturan, serta institusi pemerintahan daerah sebagai representasi kepentingan warga, menjadikan proses penetapan Perda PSDHBM tidak bisa begitu saja menafikan kehendak bersama masyarakat setempat. Sebagai sebuah proses—pemberlakuan Perda PSDHBM mencerminkan partisipasi masyarakat sebagai pengguna aturan. Adalah absurd jika produk kebijakan hanya mewakili dan berorientasi pada segelintir kepentingan elit politik serta birokrasi penguasa. Pada akhirnya, proses penetapan Perda PSDHBM dipahami sebagai sebuah kebutuhan guna mengatur (regulasi), sehingga mengandung substansi perlindungan terhadap hak dan kewajiban obyek serta subyek di dalam peraturan yang bersangkutan.
Di tengah euforia otonomi daerah, muncul suara minor bahwa daerah sekadar berorientasi kepada eksploitasi sumber daya alam bagi peningkatan pendapatan ali daerah. Dengan kewenangan yang kian membesar, pemerintah daerah dianggap lebih mengedepankan fungsi komando dan pengendali (comand and control)—dan belum siap untuk menempatkan diri sebagai fasilitator. Penyikapan Wonosobo terhadap otonomi daerah tampaknya menampakkan gejala yang berbeda. Momentum guna melakukan “pembalasan” atas perilaku pusat selama ini, tampaknya tidak lagi menjadi persoalan penting.
Aras desentralisasi yang bertumpu pada pilar distribusi kekuasan, distribusi pendapatan, dan pemberdayaan masyarakat menjadi ruh dalam Perda PSDHBM. Boleh jadi justru pemerintah pusatlah yang tidak siap dengan konsensus desentralisasi dan otonomi daerah itu. Ini semakin terlihat ketika muncul indikasi gagapnya beberapa pemerintahan daerah menerapkan otonomi, maka yang terjadi adalah pelemparan tanggung jawab kepada daerah yang kemudian dikaitkan dengan koreksi otonomi daerah secara berlebihan.
Perda PSDHBM adalah contoh nyata wujud sikap daerah dalam menyambut desentralisasi secara bertanggungjawab, didasari pada kesadaran untuk memberdayakan masyarakat setempat. Setelah sekian lama hutan negara di Wonosobo terhegemoni oleh Perhutani sebagai representasi pusat, terbukti bahwa tidak tersedia jaminan keberlanjutan hutan. Dengan memposisikan masyarakat sebagai pelaku utama, makna desentralisasi dan otonomi daerah telah terjaga secara konsisten. Secara substansial, Perda PSDHBM mengemban misi penyelamatan sumber daya hutan yang tersisa dengan tetap mengindahkan semangat dasar desentralisasi yang memberikan kepercayaan pada kemampuan masyarakat setempat.

Secara teoritis, Perda PSDHBM telah memenuhi tiga unsur legitimasi untuk dikatakan cukup memadai sehingga mempunyai kekuatan berlaku.
• Pertama, secara filosofis Perda ini mempunyai cita-cita hukum (recht idea) yang tercermin di dalam konsiderannya. Latar belakang utama Perda ini adalah keprihatinan atas kondisi hutan di Kabupaten Wonosobo—tidak saja karena kerusakan yang diakibatkan oleh “penjarahan hutan”—tetapi lebih kepada akar pokok persoalan mengenai salah urus sumber daya hutan di Wonosobo selama ini.
• Kedua, secara sosiologis Perda ini merupakan cerminan dari kehendak publik setempat sebagai suatu kebutuhan bersama. Proses penyusunan Perda ini bukanlah sekadar penuangan konsep dari belakang meja dalam waktu semalam. Proses konsultasi publik yang panjang dilakukan (November 1999-20 Oktober 2001), serta menyertakan berbagai penopang (stakeholder) yang representatif secara luas.
• Ketiga, secara yuridis Perda ini justru mendasarkan pada peraturan yang lebih tinggi dan berada diatasnya, yakni UU No. 22 tahun 1999 khususnya dalam bidang sumber daya hutan. Kontroversi muncul ketika, secara hirarkis, kaidah hukum Perda ini dipertentangkan SK Menteri, PP, dan UU yang mengatur kehutanan. Pokok pertentangan sesungguhnya adalah kembali kepada persoalan kewenangan, dan bukan pada substansi serta arti penting keberadaan Perda yang bersangkutan. Tanpa harus memperdebatkan kaidah-kaidah hukum yang bersifat universal misalnya kaidah lex superiori deroget legi inferiori, tampak bahwa polemik sekadar berputar-putar pada argumentasi yuridis legal-formalistik dan melupakan fakta, bahwa secara substansial perda tersebut adalah kehendak aspirasi lokal spesifik masyarakat Wonosobo sebagai calon pengguna dan penanggung akibatnya secara sadar. Pada hakikatnya, polemik itu tidak saja tak produktif tetapi juga tidak bijaksana.

Pada saat ketiga unsur legitimasi tersebut sudah dipenuhi, dan unsur yang terus dipertanyakan oleh kekuasaan yang lebih tinggi hanyalah masalah kewenangan, alangkah bijaksana jika kita mengkaji tiga unsur penegakan hukum yang harus dipenuhi. Ketiga hal dalam penegakan hukum tersebut adalah pertama keadilan, kedua kemanfaatan, dan ketiga adalah kepastian. Jika pada saat yang bersamaan ketiga hal tersebut tidak dapat dipenuhi seluruhnya, maka yang harus diperhatikan dan dikedepankan adalah keadilan.
Dalam hal keadilan sosial inilah, Perda PSDHBM menemukan kekuatannya. Perda ini memberikan tempat istimewa bagi masyarakat setempat untuk menjadi pelaku utama pengelolaan hutan berkelanjutan. Selain memenuhi persyaratan keadilan, Perda ini juga lebih jauh memberikan kemanfaatan yang lebih besar bagi masyarakat dalam mengelola dan menikmati hasil hutannya secara lestari. Terakhir, perda ini memberikan suatu kepastian bagi masyarakat setempat untuk bisa membuka selubung akses pengelolaan hutan negara yang selama ini sangat tertutup. Dengan demikian, masyarakatlah yang akan mendapatkan manfaat dari hutan, bertanggungjawab atas keberlanjutan hutan, dan tentunya, keselamatan mereka sendiri sebagai suatu kesatuan kolektif.

CATATAN AKHIR
“Bila adil merupakan unsur konstitutif (nilai dasar) hukum,
suatu peraturan yang tidak adil bukan hanya hukum yang buruk,
akan tetapi semata-mata bukan hukum atau non hukum.
Oleh karena itu, orang tidak terikat terhadapnya dan tindakan penghukuman tidak sah.
Hukum yang tidak adil bukan hanya sah untuk ditolak,
tetapi juga sah untuk dilawan”,
(Theo Huibers, Filsafat Hukum)

Perikehidupan manusia dan dinamika konfliknya, melahirkan perkembangan aturan yang disepakatinya. Untuk itulah ditetapkan tata hukum yang berlaku di tengah masyarakat. Sebagai suatu perangkat kualitatif, tata hukum kemudian diterjemahkan dalam sistem hukum yang ditegakkan oleh suatu struktur komunitas di tingkat masyarakat maupun negara. Seiring dengan menguatnya dominasi pemerintah, hukum sipil (civil law) muncul berbagai kendala dalam pangaturan masyarakat. Peraturan negara gagal dalam menyelesaikan konflik, memberantas inefisiensi, mengikis mismanagement, membatasi campur tangan penguasa, dan banyak lagi persoalan lainnya. Berangkat dari pengalaman selama ini, dapat dikatakan bahwa hukum nasional belum mampu memenuhi fungsinya secara optimal sebagai pranata kehidupan masyarakat.

1. Keterbatasan Hukum
Hukum diberlakukan untuk mengatur kehidupan masyarakat, meningkatkan rasa keadilan, serta mencegah dan menyelesaikan berbagai permasalahan dan sengketa yang terjadi di masyarakat. Tugas hukum menurut batasan hasil pemikiran Hoebel (1954), adalah:
… menyelesaikan ganguan-gangguan yang terjadi dengan pelanggaran norma, atau karena ada pihak yang berpendapat bahwa haknya telah dilanggar oleh pihak lain .
Hukum hanyalah salah satu dari banyak faktor yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam kehidupan bermasyarakat, tindakan-tindakan yang diambil, dan hubungan-hubungan yang mereka miliki. Aspek-aspek penting dari hubungan antara hukum dan perubahan masyarakat hanya muncul ketika hukum dikombinasikan dengan konteks kehidupan sosial. Dalam pelaksanaan sistem hukum, berbagai keterbatasan dijumpai dalam memperoleh keadilan.
Secara administratif, penegakan hukum oleh pemerintah pusat mutlak memerlukan resources yang memadai. Banyak peristiwa tragis terjadi akibat lemahnya peraturan sentralistik dalam menjamin prosedur dan tata cara memperoleh keadilan. Seharusnya ada jangkauan atau akses terhadap keadilan yang lebih egaliter, utamanya bagi kelompok-kelompok dan kepentingan-kepentingan yang selama ini mengalami hambatan dalam perolehan kesempatan mengutarakan ketidakadilan yang dideritanya (Cappeletti, Garth, 1978).


2. Perangkap Kodifikasi dan Unifikasi Hukum
Sejak jaman penjajahan Belanda, polemik tentang proses unifikasi hukum pengelolaan sumberdaya hutan sangat kentara, antara mereka yang setuju dengan yang menentang. Dalam realitasnya, diberlakukan pembedaan keberlakuan hukum antara orang Belanda (dan orang asing lainnya), dan masyarakat pribumi. Ketiadaan ahli hukum Indonesia yang memadai, dalam arti memiliki latar belakang penguasaan tentang keragaman sistem hukum lokal, menjadikan ide-ide yang tercetus membias pada gagasan Barat dan pengalaman Jawa-Sumatera saja. Hal yang demikian terjadi pada waktu-waktu penyusunan berbagai Ordonansi dan Reglement tentang hutan, sampai dengan tersusunnya UUPA tahun 1960.
Hingga berakhirnya kekuasaan kolonial di Indonesia, ternyata belum tedapat produk hukum yang secara khusus mengatur masalah pengusahaan hutan, khususnya di luar Jawa. Di kawasan tersebut, Belanda lebih memusatkan perhatian kepada pengusahaan perkebunan-perkebunan besar, seperti perkebunan kopi dan kelapa sawit di Sumatera dan perkebunan pala Maluku.
Sementara itu mekanisme dan sistem pengatusan hutan dalam kerangka hukum lokal semakin terpinggirkan, bahkan produk-produk hukum nasional akhirnya menegasikan—terkadang mengakui dengan persyaratan—adanya lokalitas tersebut. Kodifikasi dan unifikasi hukum memang dapat saja dilakukan, namun celah perbedaan akan selalu terkuak lebar antara apa yang dikaidahkan (law on books), dengan apa yang akan terwujud nanti sebagai perilaku aktual (law in action).
Program pemerintah dalam mengembangkan sentralisme hukum menjadikan ragam dari aturan-aturan yang berlaku di masyarakat (law in action), tunduk kepada hukum formal yang seragam (law on books). Sesungguhnya hal ini tidak ubahnya seperti menyeragamkan semua bahasa percakapan agar tereplikasi ke dalam bahasa tulisan (Jacob, 1969; Goldstein&Ford, 1971; Wilson, 1968; Levin, 1977; Church et al., 1978; dan Mnooken, 1979). Negara atau pemerintah cenderung menempatkan law in action sebagai sebuah penyimpangan dari law on books—atau setidaknya menganggap bahwa law in action dianggap sebagai suatu versi yang lebih rendah nilainya dari law on books itu (Ferguson, 1971, hal. 222-230).
Sayangnya, kompromi antara sistem hukum lokal dan inisiatif-inisiatif unifikasi dan kodifikasi versi pemerintah, hingga kini tidak pernah menemukan sebuah titik temu dalam suatu kesepakatan berdasar sintesa yang tepat. Dalam konteks pengelolaan hutan, kompromi yang tak kunjung didapatkan menyebabkan terjadinya penciutan hak penguasaan terhadap SDH ke dalam konsep yang dinamakan hak menguasai oleh negara (HMoN). Prinsip HMoN ini pada akhirnya dapat terimplikasi dalam suatu konsep politik hukum, yang dikondisikan oleh dominasi pada kekuasaan pemerintah pusat. Sementara itu hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat, yang diakui dalam hukum lokal tidak perbah memperoleh ruang untuk berkembang.
Selama periode pemerintahan nasional, telah terjadi suatu usaha introduksi sistem hukum asing ke dalam tata hukum masyarakat pribumi secara sistematis, dan transplantasi hukum asing ke tengah tata hukum masyarakat pribumi. Usaha tersebut ternyata masih terus berlanjut hingga kini. Biasanya, hal yang demikian mengakibatkan independensi peraturan lokal menjadi tertekan, dan akhirnya tersingkirkan. Sebagaimana diakui, bahkan dalam konstitusi Indonesia, keragaman peraturan lokal adalah realitas yang muncul dalam kehidupan bernegara di Indonesia (Lihat Penjelasan Bab VI UUD 1945).
Pada akhirnya, penyeragaman hukum mengarah pada pengambil alihan secara paksa atas nama hukum nasional dengan menegasikan hukum tradisonal dan lokal yang amat plural. Dengan alasan untuk melindungi lingkungan atau meningkatkan kesejahteraan masayarakat, semua aturan-aturan lokal dan tradisional diganti dengan hukum nasional secara terpusat dan seragam. Secara teoritis, hukum nasional kemudian memang berlaku, namun pada kenyataannya, tidaklah demikian. Tidak diragukan lagi bahwa pluralisme hukum sebagai antisipasi pluralisme sosial budaya sangat perlu untuk dilakukan, seperti kata Djojodigoeno (1952):
You cannot alter social conditions by making laws … Law has to adjust itself to social conditions. You cannot unify law where social conditions do the converse.
Pengelolaan hutan secara sentralistis selama ini dijalankan melalui pengembangan perangkat hukum atas dasar asas ketunggalan dan konkordansi (eenheidsbegintel), sebagai manifestasi dari kencangnya proses unifikasi hukum. Ini tercermin dengan dilakukannya kodifikasi hukum yakni mempositifkan hukum-hukum materiail ke dalam kitab-kitab hukum (UU, PP, SK Menteri, dan sebagainya). Pluralitas sosial budaya yang telah berurat berakar di kalangan masyarakat tempatan, kemudian diabaikan begitu saja. Keragaman kondisi sumber daya hutan dan sumber daya manusia, variasi sosial budaya, serta tata cara kehidupan masyarakat—tidak terakomodir sepenuhnya dalam peraturan hukum di Indonesia.

3. Buruk Muka Cermin Dibelah
Pembicaraan tentang penerapan hukum membuktikan bahwa hal yang diangankan memang tidak selalu dapat dipenuhi. Dalam wacana pengelolaan sumber daya hutan (PSDH) di Indonesia, kehadiran Perda Wonosobo No. 22 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat, sebagai sebuah inisiatif legal formal, patut diberi catatan tersendiri. Perda ini sejak awal diharapkan banyak mengandung semangat keberpihakan kepada rakyat dan penghargaan terhadap keragaman pola kehidupan yang telah dijalankan oleh masyarakat lokal.
Dengan munculnya kekhawatiran pusat, sebelum sempat Perda dijabarkan dalam peraturan lain yang lebih terinci; terbukalah berbagai macam dualisme bahkan pentalisme hukum karena banyaknya ‘Perdebatan Kewenangan’ dalam wacana pengelolaan SDH yang saling tumpang tindih, bahkan saling bertentangan (UU Kehutanan, UU Pemerintahan Daerah, UU Tata Ruang, dan berbagai peraturan pelaksanaannya yang lain). Perdebatan kewenangan inilah yang kemudian menghilangkan arti penting substansi dan ilai sosiologis Perda PSDHBM tersebut.
Kekacauan sistem hukum dan kebijakan pengelolaan SDH selama ini, salah satunya terjadi akibat terjadinya sentralisme hukum, yakni asumsi negara (pemerintah)—dan bahkan acapkali menjadi asumsi banyak orang pula—bahwa upaya pengelolaan hutan memerlukan pengaturan terpusat, yang sebetulnya berada di luar konteks sosial dari sumber daya hutan itu sendiri. Departemen Kehutanan sebagai bentuk institusi sentralistik bagaimanapun akan memerlukan sumber daya berupa peran orang-orang yang mempunyai pengetahuan khusus atau keahlian tertentu mengenai ragam persoalan di seluruh penjuru tanah air. Kejadian-demi kejadian di lapangan yang berkenaan dengan carut marut kehutanan dewasa ini menunjukkan bahwa asumsi tersebut tidak tepat.


Terdapat dua indikasi menarik tentang kegagalan forum tersebut, pertama bahwa di dalam institusi Dephut sendiri terdapat perbedaan kepentingan yang sulit untuk dipecahkan. Yang kedua adalah besarnya kemungkinan bahwa kapabilitas, kelengkapan informasi, metodologi, dan koordinasi kerja Dephut tersebut sangat tidak memadai.

Yogyakarta, Awal Maret 2002

RUJUKAN PUSTAKA:
Ihromi, TO., (ed.), 1993, Antropologi Hukum, Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Dove, Michael R, 1986, The Ideology of Agricultural Development in Indonesia, dalam Colin MacAndrews (ed.), Central Government and Local Development in Indonesia, Oxford University Pres, Kuala Lumpur.
Fauzi, Noer, 1998, Pluralisme Hukum; Agenda Hukum Agraria Nasional di Abad 21, Makalah pada Seminar Hasil Studi Hak-hak tradisional atas Tanah di Indonesia, Unika Atma Jaya-Puslitbang BPN, Jakarta, 1 Desember 1998
Wignjosoebroto, Soetandyo, 1995, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional; Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar